Minggu, 18 Desember 2011

HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT

Pengertian taqlid, hukumnya serta beramal dengan taqlid
Apa benar orang yang selama hidupnya terus menerus membaca doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dianggap taqlid?
Kenapa bacaan shalawat dalam khutbah Jum‘at yang dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah tidak sama dengan bacaan shalawat yang tertulis dalam HPT?


Tentang Taqlid
Pengertian Taqlid
Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَقْلِيْدٌ (taqlid), yaitu: قَلَّدَ (qallada), يُقَلِّْدُ (yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan). Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat) orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ. [محمد (47): 33].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad (47): 33].
قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ. [آل عمران (3): 32].
Artinya: “Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali 'Imran (3): 32].
وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. [الأنفال (8): 1].
Artinya: “… dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” [al-Anfal (8): 1].
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat dalam al-Qur’an dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Qur’an dan sunnah maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Hal ini berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu seminar atau diskusi. Dengan demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran Islam, yang benar-benar ada dasarnya.
b. Hukum Taqlid
Dari ayat al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.


2. Tentang hukum membaca doa Iftitah: “Allahumma baa‘id …”
Sampai saat ini Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan ayat al-Qur’an atau Sunnah Maqbulah yang menyatakan bahwa orang yang terus membaca “Allahumma baa‘id …” dalam selama hidupnya dianggap telah melakukan bid’ah. Karena itu mungkin sebaliknya bahwa orang yang mengatakan demikianlah yang telah berbuat bid’ah. Menurut hasil penelitian kami bahwa ada dua macam doa iftitah yang diajarkan Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul ihram pada setiap mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua doa iftitah itu boleh dibaca dalam shalat. Kedua doa itu ialah “Allahumma baa‘id …” dan “Wajjahtu wajhiya …”.
Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْمَةً قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ. [رواه البخارى ومسلم وأصحاب السنن إلا الترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah saw setelah mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum membaca al-Fatihah. Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan ibuku, apa yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan membaca al-Fatihah? Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ.
Artinya: Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana Kau telah jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah segala kesalahanku dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan penyusun Kitab-kitab Sunan kecuali at-Tirmudzi].
Doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” berdasarkan:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ. [رواه أحمد ومسلم والترمذى وأبو داود وغيرهم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw apabila berdiri untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ.
Artinya: Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada-Nya). Wahai Allah, hanya Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku adalah hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku, karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu. Aku penuhi panggilan-Mu dan aku gembira dengan memenuhi perintah-Mu, semua kebaikan berada dalam kekuasaan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat (mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup dengan-Mu dan hanya akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau” [HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan lain-lain].
Sekalipun kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam shalat, namun ada yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam mengamalkannya, yaitu:
a. Dasar dari kedua doa iftitah itu adalah Sunnah Maqbulah, karenanya Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan kewenangan kepada kaum muslimin untuk memilih doa mana yang akan mereka baca, atau mereka boleh membaca keduanya secara bergantian.
b. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dimulai dengan kalimat “Allahumma baa‘id ” dan diakhiri dengan “bil-ma'i wats-tsalji wal-barad”, sedang doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” dimulai dengan kalimat “Wajjahtu wajhiya” dan diakhiri dengan kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.
c. Jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah saw, tentu kita harus membaca doa iftitah itu secara lengkap, tidak setengah-setengah.
d. Sekalipun kedua doa iftitah itu berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih kuat daripada doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”, karena doa iftitah “Allahumma baa‘id …” diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedangkan doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan yang lain.
Selanjutnya kami serahkan kepada penanya untuk menetapkan pendapatnya berdasarkan keterangan di atas.


3. Tentang bacaan shalawat dalam Khutbah Shalat Jum’at
Allah Swt menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw agar beliau selalu diberi rahmat oleh Allah Swt, berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوأ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا. [الأحزاب (33): 56].
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab (33): 56].
Perintah yang terkandung pada ayat di atas adalah umum, dengan arti tidak diterangkan kapan membacanya, apa lafadznya. Karena itu kaum muslimin membacanya kapan mereka inginkan dan mengutamakan membacanya dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam khutbah Jum’at. Demikian pula halnya dengan lafadz yang akan dibaca, kaum muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi dari lafadz itu hendaklah memanjatkan doa untuk Rasulullah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Mengenai bacaan shalawat dalam shalat memang Rasulullah saw memberikan tuntunannya, berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى قَالَ لَقِبَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلاَ أُهْدِى لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِى فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُوْلُوْا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. [رواه البخارى ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Aku bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku beri hadiah yang aku dengar dari Nabi saw? Aku berkata: Baiklah, berikanlah kepadaku. Maka ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, bagaimana bacaan shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata: Katakanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkah-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau limpahkan atas Ibrahim dan keluarganya, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim” tidak terdapat kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat “Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafadz shalawat itu boleh dibaca dalam shalat.
Tentu saja membaca shalawat atas Nabi saw di luar shalat seperti yang telah diajarkannya itu adalah lebih baik, sedang bacaan shalawat dalam khutbah Jum’at tidak diharuskan seperti bacaan shalawat dalam shalat. Namun yang paling baik dibaca adalah seperti bacaan shalawat dalam shalat.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *km)

Senin, 12 Juli 2010

Serba Serbi Niat Shalat (1): Saudariku, Sudah Benarkah Niatmu?

Saudaraiku semoga Allah merahmatimu. Pada kesepatan kali ini kami akan mencoba membahas permasalahan-permasalahan penting berkenaan dengan niat shalat. Niat merupakan salah satu syarat sah shalat. Syarat itu harus dipenuhi oleh setiap hamba yang akan berdiri dihadapan RabbNya dan memenuhi panggilanNya. Namun apabila tidak dipenuihi maka sholat yang ia kerjakan tidak teranggap dan menjadi amalan sia-sia yang tiada nilainya. Bagaimanakah agar niat kita menjadi benar? Simaklah poin-poin berikut ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua.


Definisi Niat

Secara bahasa niat berarti maksud dan tujuan. Kata niat juga diartikan sebagai ‘azm (kemauan keras). Penulis kitab Mishbahul Munir mengatakan: “Kata niat dartikan secara umum dengan kemauan hati untuk melakukan suatu perkara”. (Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 29)

Secara syar’i sebagaimana definisi yang diberikan Nawawi rahimahullah, niat berarti keinginan kepada sesuatu dan kemuan keras untuk melakukan sesuatu. Sebagian ulama menyamakan antara niat dengan ikhlas yaitu mengikhlaskan agama hanya kepada Allah Ta’ala. Karena maksud utama dari niat itu sendiri adalah ibadah kepada Allah.(Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 30)

Niat Adalah Amalan Hati dan Bukan Amalan Lisan

Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan hal yang serupa, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang menukil baik dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam maupun salah seorang dari para sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya dia mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul ihram, pen) dengan lafadz-lafadz niat baik dengan suara lirih maupun keras dan tidak pula memerintahkan hal ini.”(Majmu’ Fatawa 22/237, Maktabah Asy Syamilah)

Namun sebagian orang beranggapan dengan melafadzkan niat lebih memantapkan hati dan mampu menyempurnakan realisasi niat. Lantas jawaban apa untuk orang yang berkata semacam ini? Berikut ini sanggahan yang dinukil Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Kalau seandainya melafadzkan niat itu dianjurkan tentu Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melakukannya sejak dahulu atau setidaknya beliau memerintahkan hal ini. Karena beliau shallallahu’alaihi wasallam telah menjelaskan semua perkara yang bisa mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabbnya, terlebih lagi perkara sholat yang tidak ada satupun tata cara yang diambil kecuali dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana hadits shahih, dimana beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

صلوا كما رأيتمونى أصلى

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan dikeluarkan di Irawaul Ghalil No. 213)

Semua bentuk tambahan tata cara shalat Nabi serupa dengan tambahan yang ada pada ibadah-ibadah lain, seperti halnya orang yang menambahkan adzan dan iqamah pada sholat ‘Ied dan juga orang yang menambahkan sholat dua rakaat ketika sa’i.

Melafadzkan niat dapat merusak cara berpikir rasional. Sebagai contoh, ada seseorang yang berkata,

“Aku berniat untuk makan makanan ini agar bisa kenyang” atau “Aku berniat memakai pakaian ini untuk menutupi aurat” dan ucapan semisalnya. Tentu ucapan semacam ini termasuk ucapan yang dipandang buruk lisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ

“Katakanlah, Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang ketaatanmu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?” (Qs. AL-Hujurat: 16)

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah.” (Qs. Al-Insan: 9)

Sebagian salaf berkata tentang ayat ini, “Mereka (para sahabat) tidak mengucapkan (apa yang mereka niatkan) dengan lisan (ketika mereka memberi makan fakir miskin), akan tetapi Allah Ta’ala sendiri yang menceritakan apa yang ada dalam hati mereka dengan turunnya ayat ini.” (Majmu’ Fatwa 22/238,239, Maktabah asy Syamilah)

Hukum Mengucapkan “Nawaitu Shalat Dzuhr Arba’a Raka’at Adaan Lillah“

Al Lajnah ad Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
“Apa hukum mengucapkan niat seperti contohnya:

نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح

“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajahNya yang mulia.”

Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallahu’alihi wasallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallahu’alihi wasallam yang menyatkan beliau mengucapkan niat shalat baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini pastilah para shabat meriwayatkan dari beliau shallallahu’alaihi wasallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallahu’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.” [1]

Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [2]

Wabillahi attaufiq wa shallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)

Kisah Indah Penuh Hikmah

Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkisah: “Betapa eloknya cerita tentang seorang, sebagian orang telah bercerita kepadaku tentangnya, “Ada seseorang yang berada di masjidil haram telah lama ia ingin mendirikan shalat, ketika iqamah dikumandangkan iapun berkata,

اللهم إني نويت أن أصلي الظهر أربع ركعات لله تعالى ، خلف إمام المسجد الحرام

“Ya Allah, aku berniat akan menunaikan shalat dzuhur empat rakaat karena Mu dibelakang imam Masjidil Haram.”

Namun tatkala ia hendak mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram,ada orang yang berkata kepada si pengucap niat,

“Tunggu dulu masih ada yang tersisa!”

Pengucap niat menjawab,”Apa yang tersisa?”

Dia berkata, “Katakanlah (dalam ucapan niatmu) pada hari ini, pada tanggal ini, pada bulan ini, pada tahun ini sampai engkau tidak abaikan satupun ini dan itu”. Maka si pengucap niat terheran-heran. Pada hakekatnya pelajaran penting dari kisah ini adalah rasa heran si pengucap niat.

Penegur berkata, “Bukankah engkau tahu Allah Maha Mengetahui apa yang engkau maksudkan dalam hatimu?”

Pengucap niat menjawab, “Tentu Allah tahu apa yang terlintas dalam jiwamu”

“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah maha mengetahui jumlah bilangan rakaat dan waktu-waktunya?” Si pengucap niat pun terdiam. Karena dia meyadari tentang hal ini bahwa niat itu tempatnya di hati.”(Majmu’ Fatwa Wa Rasail Ibni Utsaimin 12/366, Maktabah Asy Syamilah).

Diantara Kaidah yang Disepakati Ulama

Niat terletak di dalam hati dan bukan di lisan berlaku untuk semua ibadah tak terkecuali shalat. Jika seseorang mengucapkan niat di lisan namun berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya karena lupa maka niat yang dianggap adalah niat yang ada dalam hatinya. Sebaliknya jika seseorang mengucapkan niat di lisan akan tetapi tidak berniat dalam hatinya maka belum mencukupi, sehingga tidak sah shalatnya. Jika seseorang meniatkan shalatnya persis sebelum takbiratul ikhram maka hal ini sudah mencukupi bahkan inilah waktu utama untuk berniat tatkala shalat. Namun jika berniat setelah takbiratul ikhram maka niatnya tidak dianggap dan shalatnya tidak sah.(Shahih Fiqh Sunnah I/306,307).

Washalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa’ala alihi washahbihi wasallam.

Penulis: Ummu Fatimah Umi Farikhah
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

****
[1] Dikeluarkan Ahmad 6/240,270, Bukhari 3/241 di Kitab Ash Shulh, Muslim 3/1343 di Kitab Uqdhiyyah dan Ibnu Majah 1/7 di Muqaddimah.
[2]Riwayat Ahmad 3/310,371, Muslim 2/592 Kitab al Jumuah, an Nasai 3/188 Kitabu al Jumuah dan Ibnu Majah 1/18 di Muqaddimah.
Maraji’:
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta, Ahmad Ibn Abdurrazzaq Adduwais, Arriasah Al Ammah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta,Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibn Utsaimin,Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al Utsaimin, Maktabah Asy Syamilah.
Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Nadzim Muhammad Shulthan, Darul Hijrah, KSA.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal Ibn As Sayyid Salim, Maktabah Attaufiqiyyah.
Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah,Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin, Dar Ats Tsurayya, KSA.

Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun

Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun

Kamis, 08 Juli 2010

API oil-water separator

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
An API oil-water separator is a device designed to separate gross amounts of oil and suspended solids from the wastewater effluents of oil refineries, petrochemical plants, chemical plants, natural gas processing plants and other industrial sources. The name is derived from the fact that such separators are designed according to standards published by the American Petroleum Institute (API). [1][2]
Description of the design and operation


A typical gravimetric API separator
The API separator is a gravity separation device designed by using Stokes Law to define the rise velocity of oil droplets based on their density and size. The design of the separator is based on the specific gravity difference between the oil and the wastewater because that difference is much smaller than the specific gravity difference between the suspended solids and water. Based on that design criterion, most of the suspended solids will settle to the bottom of the separator as a sediment layer, the oil will rise to top of the separator, and the wastewater will be the middle layer between the oil on top and the solids on the bottom.[2]
Typically, the oil layer is skimmed off and subsequently re-processed or disposed of, and the bottom sediment layer is removed by a chain and flight scraper (or similar device) and a sludge pump. The water layer is sent to further treatment consisting usually of a dissolved air flotation (DAF) unit for further removal of any residual oil and then to some type of biological treatment unit for removal of undesirable dissolved chemical compounds.


A typical parallel plate separator
Parallel plate separators are similar to API separators but they include tilted parallel plate assemblies (also known as parallel packs).[2] The underside of each parallel plate provides more surface for suspended oil droplets to coalesce into larger globules. Any sediment slides down the topside of each parallel plate. Such separators still depend upon the specific gravity between the suspended oil and the water. However, the parallel plates enhance the degree of oil-water separation. The result is that a parallel plate separator requires significantly less space than a conventional API separator to achieve the same degree of separation.
History
The API separator was developed by the API and the Rex Chain Belt Company (now USFilter Envirex Products). The first API separator was installed in 1933 at the Atlantic Refining Company (ARCO) refinery in Philadelphia. Since that time, virtually all of the refineries worldwide have installed API separators in their wastewater treatment plants. The majority of those refineries installed the API separators using the original design based on the specific gravity difference between oil and water. However, many refineries now use plastic parallel plate packing to enhance the gravity separation.[1][2]
Other oil-water separation applications
There are other applications requiring oil-water separation. For example:
• Oily water separators (OWS) for separating oil from the bilge water accumulated in ships as required by the international MARPOL Convention.[3][4]
• Oil and water separators are commonly used in electrical substations. The transformers found in substations use a large amount of oil for cooling purposes. Moats are constructed surrounding unenclosed substations to catch any leaked oil, but these will also catch rainwater. Oil and water separators therefore provide a quicker and easier cleanup of an oil leak.[5]
See also
• Pollution
• Wastewater
• Industrial wastewater treatment
• Industrial water treatment
• Centrifugal oil-water separator
References
1. ^ a b American Petroleum Institute (API) (February 1990). Management of Water Discharges: Design and Operations of Oil-Water Separators (1st Edition ed.). American Petroleum Institute.
2. ^ a b c d Beychok, Milton R. (1967). Aqueous Wastes from Petroleum and Petrochemical Plants (1st Edition ed.). John Wiley & Sons. LCCN 67019834.
3. ^ International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 (and later amendments)
4. ^ Oily water separator
5. ^ Leonard L.Grigsby (2001). The Electrical Power Engineering Handbook. CRC Press. ISBN 0-8493-8578-4.
• Photographs, drawings and design discussion of gravimetric API Separators
• Oil/Water Separators Diagrams and description of separators using plastic parallel plate packing.
• Oil-in-water Separation Good discussion and explanation of wastewater treatment processes.
• Monroe Environmental Clarifiers Manufacturer, drawings, photographs, diagrams and descriptions.
• Oil Water Separators Features, Case Studies, Technology, Photos
Retrieved from "http://en.wikipedia.org/wiki/API_oil-water_separator"