Selasa, 29 Juni 2010

MateriaL Handling Equipment

Material handling equipment is all equipment that relates to the movement, storage, control and protection of materials, goods and products throughout the process of manufacturing, distribution, consumption and disposal. Material handling equipment is the mechanical equipment involved in the complete system. Material handling equipment is generally separated into four main categories: storage and handling equipment, engineered systems, industrial trucks, and bulk material handling.

Ways in which material handling equipment can improve efficiency

Material handling equipment is used to increase throughput, control costs, and maximize productivity. There are several ways to determine if the material handling equipment is achieving peak efficiency. These include capturing all relevant data related to the warehouse’s operation (such as SKUs), measuring how many times an item is “touched” from the time it is ordered until it leaves the building, making sure you are using the proper picking technology, and keeping system downtime to a minimum. (1)

Types of material handling equipment

Storage and handling equipment
Storage and handling equipment is a category within the material handling industry. The equipment that falls under this description is usually non-automated storage equipment. Products such as Pallet rack, shelving, carts, etc. belong to storage and handling. Many of these products are often referred to as "catalog" items because they generally have globally accepted standards and are often sold as stock materials out of Material handling catalogs.

Engineered systems

Engineered systems are typically custom engineered material handling systems. Conveyors, Handling Robots, AS/RS, AGV and most other automated material handling systems fall into this category. Engineered systems are often a combination of products integrated to one system. Many distribution centers will optimize storage and picking by utilizing engineered systems such as pick modules and sortation systems.

Equipment and utensils used for processing or otherwise handling edible product or ingredients must be of such material and construction to facilitate thorough cleaning and to ensure that their use will not cause the adulteration of product during processing, handling, or storage. Equipment and utensils must be maintained in sanitary condition so as not to adulterate product.

Industrial trucks

Industrial trucks usually refer to operator driven motorized warehouse vehicles. Industrial trucks assist the material handling system with versatility; they can go where engineered systems cannot. Forklift trucks are the most common example of industrial trucks but certainly aren't the extent of the category. Tow tractors and stock chasers are additional examples of industrial trucks.

Bulk material handling
Bulk material handling equipment is used to move and store bulk materials such as ore, liquids, and cereals. This equipment is often seen on farms, mines, shipyards and refineries. This category is also explained in

Minggu, 27 Juni 2010

ERGONOMI

Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI
Pendahuluan :
Perkembangan teknologi saat ini begitu pesatnya, sehingga peralatan
sudah menjadi kebutuhan pokok pada berbagai lapangan pekerjaan. Artinya
peralatan dan teknologi merupakan penunjang yang penting dalam upaya
meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu
disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang waspada
menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul.
Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi pelbagai risiko yang
mempengaruhi kehidupan para pekerja. Pelbagai risiko tersebut adalah
kemungkinan terjadinya Penyakit Akibat Kerja, Penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan dan Kecelakaan Akibat Kerja yang dapat menyebabkan
kecacatan atau kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak
dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomik.
Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam
kaitannya dengan pekerjaan mereka. Sasaran penelitian ergonomi ialah
manusia pada saat bekerja dalam lingkungan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian tugas pekerjaan dengan
kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan stress yang akan dihadapi.
Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan
dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan
kelembaban bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia.
Ada beberapa definisi menyatakan bahwa ergonomi ditujukan untuk
“fitting the job to the worker”, sementara itu ILO antara lain menyatakan,
sebagai ilmu terapan biologi manusia dan hubungannya dengan ilmu teknik
bagi pekerja dan lingkungan kerjanya, agar mendapatkan kepuasan kerja
yang maksimal selain meningkatkan produktivitasnya”.
Ruang lingkup ergonomik sangat luas aspeknya, antara lain meliputi :
- Tehnik
- Fisik
- Pengalaman psikis
- Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot
dan persendian
- Anthropometri
- Sosiologi
- Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperatur tubuh, Oxygen up
take, pols, dan aktivitas otot.
- Desain, dll
Pelatihan Ergonomi
Pelatihan bidang ergonomi sangat penting, sebab ahli ergonomi umumnya
berlatar belakang pendidikan tehnik, psikologi, fisiologi atau dokter, meskipun
ada juga yang dasar keilmuannya tentang desain, manajer dan lain-lain.
Akan tetapi semuanya ditujukan pada aspek proses kerja dan lingkungan
kerja.
Metode Ergonomi
1. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja,
inspeksi tempat kerja penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan,
ergonomik checklist dan pengukuran lingkungan kerja lainnya.
Variasinya akan sangat luas mulai dari yang sederhana sampai
kompleks.
2. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar
pada saat diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi
meubel, letak pencahayaan atau jendela yang sesuai. Membeli
furniture sesuai dengan demensi fisik pekerja.
3. Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif, subyektif
misalnya dengan menanyakan kenyamanan, bagian badan yang sakit,
nyeri bahu dan siku, keletihan , sakit kepala dan lain-lain. Secara
obyektif misalnya dengan parameter produk yang ditolak, absensi
sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.
Aplikasi/penerapan Ergonomik:
1. Posisi Kerja terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk
dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil
selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dimana posisi tulang
belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada
dua kaki.
2. Proses Kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi
waktu bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya. Harus
dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur.
3. Tata letak tempat kerja
Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja.
Sedangkan simbol yang berlaku secara internasional lebih banyak
digunakan daripada kata-kata.
4. Mengangkat beban
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan
kepala, bahu, tangan, punggung dsbnya. Beban yang terlalu berat
dapat menimbulkan cedera tulang punggung, jaringan otot dan
persendian akibat gerakan yang berlebihan.
a. Menjinjing beban
Beban yang diangkat tidak melebihi aturan yang ditetapkan ILO
sbb:
- Laki-laki dewasa 40 kg
- Wanita dewasa 15-20 kg
- Laki-laki (16-18 th) 15-20 kg
- Wanita (16-18 th) 12-15 kg
b. Organisasi kerja
Pekerjaan harus di atur dengan berbagai cara :
- Alat bantu mekanik diperlukan kapanpun
- Frekuensi pergerakan diminimalisasi
- Jarak mengangkat beban dikurangi
- Dalam membawa beban perlu diingat bidangnya tidak licin dan
mengangkat tidak terlalu tinggi.
- Prinsip ergonomi yang relevan bisa diterapkan.
c. Metode mengangkat beban
Semua pekerja harus diajarkan mengangkat beban. Metode kinetik
dari pedoman penanganan harus dipakai yang didasarkan pada
dua prinsip :
- Otot lengan lebih banyak digunakan dari pada otot punggung
- Untuk memulai gerakan horizontal maka digunakan momentum
berat badan.
Metoda ini termasuk 5 faktor dasar :
o Posisi kaki yang benar
o Punggung kuat dan kekar
o Posisi lengan dekat dengan tubuh
o Mengangkat dengan benar
o Menggunakan berat badan
d. Supervisi medis
Semua pekerja secara kontinyu harus mendapat supervisi medis
teratur.
- Pemeriksaan sebelum bekerja untuk menyesuaikan dengan
beban kerjanya
- Pemeriksaan berkala untuk memastikan pekerja sesuai dengan
pekerjaannya dan mendeteksi bila ada kelainan
- Nasehat harus diberikan tentang hygiene dan kesehatan,
khususnya pada wanita muda dan yang sudah berumur.
Kelelahan/Fatique
Setelah pekerja melakukan pekerjaannya maka umumnya terjadi
kelelahan, dalam hal ini kita harus waspada dan harus kita bedakan
jenis kelelahannya, beberapa ahli membedakan/membaginya sebagai
berikut :
1. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik akibat kerja yang berlebihan, dimana masih dapat
dikompensasi dan diperbaiki performansnya seperti semula. Kalau
tidak terlalu berat kelelahan ini bisa hilang setelah istirahat dan tidur
yang cukup.
2. Kelelahan yang patologis
Kelelahan ini tergabung dengan penyakit yang diderita, biasanya
muncul tiba-tiba dan berat gejalanya.
3. Psikologis dan emotional fatique
Kelelahan ini adalah bentuk yang umum. Kemungkinan merupakan
sejenis “mekanisme melarikan diri dari kenyataan” pada penderita
psikosomatik. Semangat yang baik dan motivasi kerja akan
mengurangi angka kejadiannya di tempat kerja.
4. Upaya kesehatan kerja dalam mengatasi kelelahan, meskipun
seseorang mempunyai batas ketahanan, akan tetapi beberapa hal
dibawah ini akan mengurangi kelelahan yang tidak seharusnya
terjadi :
· Lingkungan harus bersih dari zat-zat kimia. Pencahayaan dan
ventilasi harus memadai dan tidak ada gangguan bising
· Jam kerja sehari diberikan waktu istirahat sejenak dan istirahat
yang cukup saat makan siang.
· Kesehatan pekerja harus tetap dimonitor.
· Tempo kegiatan tidak harus terus menerus
· Waktu perjalanan dari dan ke tempat kerja harus sesingkat
mungkin, kalau memungkinkan.
· Secara aktif mengidentifikasi sejumlah pekerja dalam
peningkatan semangat kerja.
· Fasilitas rekreasi dan istirahat harus disediakan di tempat kerja.
· Waktu untuk liburan harus diberikan pada semua pekerja
· Kelompok pekerja yang rentan harus lebih diawasi misalnya;
- Pekerja remaja
- Wanita hamil dan menyusui
- Pekerja yang telah berumur
- Pekerja shift
- Migrant.
· Para pekerja yang mempunyai kebiasaan pada alkohol dan zat
stimulan atau zat addiktif lainnya perlu diawasi.
Pemeriksaan kelelahan :
Tes kelelahan tidak sederhana, biasanya tes yang dilakukan seperti
tes pada kelopak mata dan kecepatan reflek jari dan mata serta kecepatan
mendeteksi sinyal, atau pemeriksaan pada serabut otot secara elektrik dan
sebagainya.
Persoalan yang terpenting adalah kelelahan yang terjadi apakah ada
hubungannya dengan masalah ergonomi, karena mungkin saja masalah
ergonomi akan mempercepat terjadinya kelelahan.
Penutup :
Penerapan Ergonomi di tempat kerja bertujuan agar pekerja saat
bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan
sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan,
kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak pemerintah
dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggungjawab
terhadap kesehatan masyarakat, membuat berbagai peraturan,
petunjuk teknis dan pedoman K3 di Tempat Kerja serta menjalin kerjasama
lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaannya

Minggu, 20 Juni 2010

Job Safety Analisis

Salah satu cara untuk mencegah kecelakaan di tempat kerja adalah dengan menetapkan dan menyusun prosedur pekerjaan dan melatih semua pekerja untuk menerapkan metode kerja yang efisien dan aman. Menyusun prosedur kerja yang benar merupakan salah satu keuntungan dari menerapkan Job Safety Analysis (JSA) – yang meliputi mempelajari dan membuat laporan setiap langkah pekerjaan, identifikasi bahaya pekerjaan yang sudah ada atau potensi (baik kesehatan maupun keselamatan), dan menentukan jalan terbaik untuk mengurangi dan mengeliminasi bahaya ini.
JSA digunakan untuk meninjau metode kerja dan menemukan bahaya yang :
• Mungkin diabaikan dalam layout pabrik atau bangunan dan dalam desain permesinan, peralatan, perkakas, stasiun kerja dan proses.
• Memberikan perubahan dalam prosedur kerja atau personel.
• Mungkin dikembangkan setelah produksi dimulai.

Pengertian Job Safety Analysis
JSA merupakan identifikasi sistematik dari bahaya potensial di tempat kerja yang dapat diidentifikasi, dianalisa dan direkam. Hal-hal yang dilakukan dalam penerapan JSA :
• Identifikasi bahaya yang berhubungan dengan setiap langkah dari pekerjaan yang berpotensi untuk menyebabkan bahaya serius.
• Menentukan bagaimana untuk mengontrol bahaya.
• Membuat perkakas tertulis yang dapat digunakan untuk melatih staf lainnya.
• Bertemu dengan pelatih OSHA untuk mengembangkan prosedur dan aturan kerja yang spesifik untuk setiap pekerjaan.

Keuntungan dari melaksanakan JSA adalah :
• Memberikan pelatihan individu dalam hal keselamatan dan prosedur kerja efisien.
• Membuat kontak keselamatan pekerja.
• Mempersiapkan observasi keselamatan yang terencana.
• Mempercayakan pekerjaan ke pekerja baru.
• Memberikan instruksi pre-job untuk pekerjaan luar biasa.
• Meninjau prosedur kerja setelah kecelakaan terjadi.
• Mempelajari pekerjaan untuk peningkatan yang memungkinkan dalam metode kerja.
• Mengidentifikasi usaha perlindungan ynag dibutuhkan di tempat kerja.
• Supervisor dapat belajar mengenai pekerjaan yang mereka pimpin.
• Partisipasi pekerja dalam hal keselamatan di tempat kerja.
• Mengurangi absent.
• Biaya kompensasi pekerja menjadi lebih rendah.
• Meningkatkan produktivitas.
• Adanya sikap positif terhadap keselamatan.

Mengembangkan Sebuah JSA
A. Memilih Pekerjaan
Pekerjaan dengan sejarah kecelakaan yang buruk mempunyai prioritas dan harus dianalisa terlebih dulu. Dalam memilih pekerjaan yang akan dianalisa, supervisor sebuah departemen harus memenuhi faktor berikut ini :

1. frekuensi kecelakaan.
Sebuah pekerjaan yang sering kali terulang kecelakaan merupakan prioritas utama dalam JSA.
2. tingkat cedera yang menyebabkan cacat.
Setiap pekerjaan yang menyebabkan cacat harus dimasukan ke dalam JSA.
3. kekerasan potensi
Beberapa pekerjaan mungkin tidak mempunyai sejarah kecelakaan namun mungkin berpotensi untuk menimbulkan bahaya.
4. pekerjaan baru
JSA untuk setiap pekerjaan baru harus dibuat sebisa mungkin. Analisa tidak boleh ditunda hingga kecelakaan atau hamper terjadi kecelakaan.
5. mendekati bahaya
Pekerjaan yang sering hampir terjadi bahaya harus menjadi prioritas JSA.

B. Membagi Pekerjaan
Untuk membagi pekerjaan, pilihlah pekerja yang benar untuk melakukan observasi. Pilihlah pekerja yang berpengalaman, mampu dan kooperatif sehingga mampu berbagi ide. Jelaskan tujuan dan keuntungan dari JSA kepada pekerja.
Observasi performa pekerja terhadap pekerjaan dan tulis langkah dasar JSA. Rekaman video pekerjaan dapat digunakan untuk peninjauan di masa mendatang. Pertanyakan langkah awal pekerjaan dilanjutkan langkah selanjutnya dan seterusnya.

C. Identifikasi Bahaya dan Potensi Kecelakaan Kerja
Tahap berikutnya untuk mengembangkan JSA adalah identifikasi semua bahaya termasuk dalam setiap langkah. Identifikasi semua bahaya baik yang diproduksi oleh lingkungan dan yang berhubungan dngan prosedur kerja.
Tanyakan pada diri masing-masing pertanyaan berikut untuk setiap tahap:
- adakah bahaya mogok, akan mogok atau kontak yang berbahaya dengan objek pekerjaan?
- Dapatkah pekerja memegang objek dengan aman?
- Dapatkah gerakan mendorong, menarik, mengangkat, menekuk atau memutar yang dilakukan menyebabkan ketegangan?
- Adakah potensi tergelincir atau tersandung?
- Adakah bahaya jatuh ketika pekerja berada di tempat tinggi?
- Dapatkah pekerja mencegah bahaya saar kontak dengan sumber listrik dan kontak putus?
- Apakah lingkungan berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan? Adakah konsentrasi gas beracun, asap, kabut, uap, debu, panas atau radiasi?
- Adakah bahaya ledakan?

D. Mengembangkan Solusi
Langkah terakhir dalam JSA adalah mengembangkan prosedur kerja yang aman untuk mencegah kejadian atau potensi kecelakaan. Beberapa solusi yang mungkin dapat diterapkan:
- Menemukan cara baru untuk suatu pekerjaan
- Mengubah kondisi fisik yang menimbulkan bahaya.
- Mengubah prosedur kerja,
- Mengurangi frekuensi pekerjaan.

Poin utama dari job safety analysis adalah : mencegah kecelakaan dengan antisipasi dan eliminasi serta mengontrol bahaya yang ada.

Kamis, 17 Juni 2010

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 8 TAHUN 2008
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,
Menimbang : a. bahwa ancaman bahaya kebakaran merupakan suatu bahaya yang dapat
membawa bencana yang besar dengan akibat yang luas, baik terhadap
keselamatan jiwa maupun harta benda yang secara langsung akan
menghambat kelancaran pembangunan, khususnya di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, oleh karena itu perlu ditanggulangi secara lebih
berdaya guna dan terus-menerus;
b. bahwa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1992 tentang Penanggulangan
Bahaya Kebakaran Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sudah
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, perkembangan dan
pertumbuhan penduduk serta kemajuan teknologi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran;
Mengingat: 1. Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie Staatsblad 1926
Nomor 226 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Staatsblad 1940 Nomor 450);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3317);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
10. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4744);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 58 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3527);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);
13. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000
tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;
14. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000
tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di
Perkotaan;
15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung;
16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;
17. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;
18. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 69 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan;
19. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1991 tentang Bangunan dalam Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Tahun 1992 Nomor 23);
20. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1999 Nomor 23);
21. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2001
Nomor 66);
22. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu lintas dan Angkutan
Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta penyeberangan di Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2003 Nomor 87) ;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN.
B A B I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut Provinsi
DKI Jakarta adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disebut
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Gubernur dan Perangkat Daerah
Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Provinsi DKI
Jakarta.
3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4. Dinas adalah perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab
dalam bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta bencana
lain.
5. Kepala Dinas adalah pimpinan perangkat daerah yang bertanggung jawab
dalam bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta bencana
lain.
6. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat
manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal,
kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus.
7. Bangunan Perumahan adalah bangunan gedung yang peruntukannya untuk
tempat tinggal orang dalam lingkungan permukiman baik yang tertata maupun
tidak tertata.
8. Kendaraan Bermotor Umum adalah moda angkutan penumpang yang
diperuntukan untuk melayani masyarakat umum.
9. Kendaraan Bermotor Khusus adalah moda angkutan yang khusus
diperuntukkan untuk mengangkut Bahan Berbahaya.
10. Bahan Berbahaya adalah setiap zat/elemen, ikatan atau campurannya bersifat
mudah menyala/terbakar, korosif dan lain-lain karena penanganan,
penyimpanan, pengolahan atau pengemasannya dapat menimbulkan bahaya
terhadap manusia, peralatan dan lingkungan.
11. Pencegahan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
mencegah terjadinya kebakaran.
12. Penanggulangan kebakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
memadamkan kebakaran.
13. Potensi Bahaya Kebakaran adalah tingkat kondisi/keadaan bahaya kebakaran
yang terdapat pada obyek tertentu tempat manusia beraktivitas.
14. Bahaya Kebakaran Ringan adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai nilai dan kemudahan terbakar rendah, apabila kebakaran
melepaskan panas rendah, sehingga penjalaran api lambat.
15. Bahaya Kebakaran Sedang I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang ; penimbunan bahan
yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 ( dua setengah ) meter
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga
penjalaran api sedang.
16. Bahaya Kebakaran Sedang II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang; penimbunan bahan
yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih dari 4 (empat) meter dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga penjalaran api
sedang.
17. Bahaya Kebakaran Sedang III adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar agak tinggi, menimbulkan panas
agak tinggi serta penjalaran api agak cepat apabila terjadi kebakaran.
18. Bahaya Kebakaran Berat I adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, menimbulkan panas tinggi
serta penjalaran api cepat apabila terjadi kebakaran,
19. Bahaya Kebakaran Berat II adalah ancaman bahaya kebakaran yang
mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sangat tinggi, menimbulkan
panas sangat tinggi serta penjalaran api sangat cepat apabila terjadi
kebakaran.
20. Sarana Penyelamatan Jiwa adalah sarana yang terdapat pada bangunan
gedung yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa dari kebakaran dan
bencana lain.
21. Akses Pemadam Kebakaran adalah akses/jalan atau sarana lain yang
terdapat pada bangunan gedung yang khusus disediakan untuk masuk
petugas dan unit pemadam ke dalam bangunan gedung.
22. Proteksi Kebakaran adalah peralatan sistem perlindungan/pengamanan
bangunan gedung dari kebakaran yang di pasang pada bangunan gedung.
23. Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung (MKKG) adalah bagian dari
manajemen gedung untuk mewujudkan keselamatan penghuni bangunan
gedung dari kebakaran dengan mengupayakan kesiapan instalasi proteksi
kebakaran agar kinerjanya selalu baik dan siap pakai.
24. Alat Pemadam Api Ringan adalah alat untuk memadamkan kebakaran yang
mencakup alat pemadam api ringan (APAR) dan alat pemadam api berat
(APAB) yang menggunakan roda.
25. Sistem Alarm Kebakaran adalah suatu alat untuk memberitahukan kebakaran
tingkat awal yang mencakup alarm kebakaran manual dan/atau alarm
kebakaran otomatis.
26. Sistem Pipa Tegak dan Slang Kebakaran adalah sistem pemadam kebakaran
yang berada dalam bangunan gedung, dengan kopling pengeluaran 2,5 ( dua
setengah ) inci, 1,5 ( satu setengah ) inci dan kombinasi.
27. Hidran Halaman adalah hidran yang berada di luar bangunan gedung, dengan
kopling pengeluaran ukuran 2,5 ( dua setengah ) inci.
28. Sistem Sprinkler Otomatis adalah suatu sistem pemancar air yang bekerja
secara otomatis bilamana temperatur ruangan mencapai suhu tertentu.
29. Sistem Pengendalian Asap adalah suatu sistem alami atau mekanis yang
berfungsi untuk mengeluarkan asap dari bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung sampai batas aman pada saat kebakaran terjadi.
30. Bencana Lain adalah kejadian yang dapat merugikan jiwa dan/atau harta
benda, selain kebakaran, antara lain gedung runtuh, banjir, ketinggian,
kecelakaan transportasi dan Bahan Berbahaya.
31. Uji Mutu Bahan/Komponen adalah uji ketahanan api, kinerja bahan/komponen
proteksi pasif dan aktif dan peralatan penanggulangan kebakaran.
32. Badan pengelola adalah badan yang bertugas untuk mengelola rumah susun.
33. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
34. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau
bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik
bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung
atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
BAB II
OBYEK DAN POTENSI BAHAYA KEBAKARAN
Bagian kesatu
Obyek
Pasal